Rasa Manis Tanpa Pemanis


Lembaran kertas yang tersusun itu rapi membawa cerita pada masanya. Pula, mempunyai nilai dari setiap halamanya. Mungkin saat ini sudah tak terlalu laku di mata orang-orang dan tak terlalu pantas ketika dibawa kemana-mana. Tak terlalu indah juga ketika orang yang tak membawa gadget. Ya, memang tak bisa dipaksakan ketika semangat dan budaya yang tak mendarah daging didalam tubuh para penafsir. Padahal sudah dikatakan sebelumnya oleh para penceramah dan pemegang tinta, ketika orang yang tak pernah membaca takkan pernah mengerti luas pikiranya. Ketika dalam angan-angan dan ilusi belaka tak dapat membangkitkan para penafsir yang tertidur".


Cerita ini diambil dalam warung kopi dari para penikmat kopi tanpa pemanis.
"Don, kita habis kelas ini kemana?"
"Kita ngopi aja deh"
"Dimana?"
"Yang penting tempatnya luas".
Aku pun segera pergi dari parkiran bersama Dono menuju warung kopi dengan naik kendaraan tahun 1990 dibikin negara Jepang. Iya, motor itu lebih tua dari usiaku saat ini, harusnya aku memanggilnya Pak Dhe. Setelah sampai di salah satu warkop yang posisinya dekat dengan laut itu, kulihat Dono langsung cepat mengeluarkan gadget dan seketika diam dan fokus tak terpecah pada layar. Pada saat itu aku sedang duduk sambil menghisap rokok yang dibeli secara ecer di sebelahnya Dono. Maklumlah, pengangguran sukses kok. Hari itu sedikit membosankan ketika hari-hari dikontrakan menjadi sarang konformitas dan kontrak politik saja yang dibicarakan. Kebetulan juga bertemu dengan salah satu teman ngopiku dulu dan kupanggil dia yang pada saat itu sedang berada di tempat kasir, "din, sini loh, ngapain disitu?". Namanya Udin, katanya anak kampus sih ia aktivis salah satu organisasi kampus. Akhirnya ia kuajak dan mau duduk bersama aku dan Dono, sedangkan Dono sibuk memainkan hpnya. Oh iya sampai lupa, Udin juga salah satu pecinta kopi pahit. "Don, lagi ngapain?".
"Ini loh lihat berita mahasiswa yang melakukan demo secara anarkis di gedung DPRD."
"Anarkis?" Kata Udin
"Iya mas, kok bisa anarkis ya, padahal dengan baik-baik kan bisa?".
"Memang anarkis itu apa sih mas?".tanya Udin pada Dono.
"Anarkis itu ya tindakan brutal yang bikin kekacauan itu loh mas." Jelas Dono.
Aku hanya diam dan sesekali menyimak pembicaraan mereka sembari menghisap rokok, pikirku lebih baik diam daripada salah ngomong.
"Pengertian itu dapet dari mana ya mas? Tanya Udin lagi.
" Menurut masyarakat sih gitu, dari kata-kata jurnalis itu juga dapat diartikan jika anarkis itu perbuatan yang tidak baik atau brutal, juga kekerasan".
" kok beda ya mas dari yang saya tahu, jadi anarkisme itu paham yang menghendaki tidak adanya pemerintah atau bisa dibilang jika dalam kasus ini tingkah laku yang bersifat tidak setuju dengan kebijakan-kebijakan yang berasal dari pemerintah. Mereka, pengikut anarkisme menginginkan kebebasan dan kemerdekaan tanpa pemerintah, katanya Berkman sih gitu dalam bukunya yang berjudul ABC Anarkisme". Sanggah Udin kepada Dono.
"Kok gitu ya mas, soalnya kalo setauku gitu e mas, kata orang juga."
"Memang benar, masyarakat merupakan korban stigmatisasi oleh pihak-pihak yang nggak suka pada paham anarkisme, jadi mereka melakukan propaganda terhadap paham-paham tersebut supaya paham tersebut diartikan sebagai paham yang bermakna kekerasan dan usaha tersebut bisa dibilang berhasil untuk mengagitasi masyarakat, misalnya saja sampean mas". Jawab Udin sambil agak sedikit senyum.
" hehehe...ya aku soalnya juga nggak pernah baca buku mas, paling-paling baca buku mata kuliah, itupun kalo ada tugas." Sahut Dono malu-malu.
" wkwk makanya baca dong Don Don..., skakmatt kan?"
Aku pun akhirnya berbicara setelah sekian lama mendengarkan diskusi yang tak sengaja dibikin itu.


Hari ini, sajak-sajak kerinduan dalam goresan tinta yang tercampak pun memanggil untuk dipahami. Kupikir terlalu rapi dan juga tak ada celah sedikitpun struktur yang dibangun sehingga sulit dimasuki kedalam saraf-saraf otak pecandu. Hanya saja sedikit manusia yang mengakui kelalaian dan keterpurukanya.


Tulisan Lama...
Bangkalan, 06 Maret 2018

Comments