Esensi Manusia

(Cerpen Kedua, "Esensi Manusia" merupakan lanjutan dari cerpen "Aku adalah Aku Yang Mereka Ketahui" sebelumnya)

Malam mendadak sunyi, lampu-lampu jalanan kota terlihat sedikit meredup dan bunyi suara gelas kaca terjatuh dari tangan Erin akhirnya memecah kesunyian suasana malam. Mbok Darmi pun tak mengalihkan sedikitpun pandanganya kearah Erin. Dengan gemetar segeralah Erin membereskan pecahan-pecahan beling yang berceceran. Diambilnya sapu dan kantong plastik untuk membersihkannya. Setelah semua beling dibersihkan dan dibungkusnya pecahan beling itu dalam kantong plastik, Mbok Darmi akhirnya mendekat ke arah Erin, "lain kali hati-hati ya mbak". Suara pelan itulah yang keluar dari bibir Mbok Darmi yang membisiki telinga Erin. Terlihat anggukan kepala Erin saja yang dapat ia lakukan untuk menutupi kesalahannya. Raut wajah yang sama masih menyelimutinya, wajah yang semula begitu anggun hilang tertutupi ketakutan. Semua terjadi begitu cepat, hanya sepersekian detik saja membuat suasana jadi tak beraturan. Aku sendiri terkadang bertanya-tanya,  apa sebenarnya yang ada pada diri Mbok Darmi,  semua orang kelihatan takut dan tunduk hanya dengan mengenal beberapa jam saja, termasuk aku. Setelah kejadian itu aku diperintah Mbok Darmi untuk terus mengajarinya tentang pekerjaan ini. Hanya waktu dua minggu Erin menjadi rekan kerja sekaligus sahabat baikku. Kita mulai mengenal satu sama lain, dan tak sungkan kuceritakan semuanya tentang diriku dan tentang  bagaimana masalah hidup yang kujalani saat ini. Ia merupakan tipe pendengar yang baik, seringkali ia memberiku solusi meskipun terkadang solusi yang tak masuk akal sekalipun. Aku dan Erin pun semakin akrab. Suatu saat aku cerita padanya disela-sela kesibukan menjadi pelayan warkop. Kebetulan malam itu pengunjung tak terlalu ramai, jadi aku bisa bicara panjang lebar hanya empat mata saja. Aku mulai bercerita tentang perbedaan yang aku rasakan waktu aku sebelum bekerja di warung kopi dengan sekarang ini. "Apa kamu mau mendengar ceritaku, Rin?(sambil menata gelas kedalam rak).  Kuharap kau mau". Erin pun mengangguk seperti biasanya.

Waktu itu, aku pulang dari warung kopi, kebetulan saat itu warung dalam kondisi ramai pengunjung, jadi aku pulang agak terlambat dari hari biasanya. Setelah sesampainya dirumah, kumatikan motorku dan kuambil kunci duplikat rumah yang selalu aku bawa sebelum aku berangkat kerja, lalu aku membuka pintu depan rumah. Saat itu pukul empat pagi, kebetulan sekali salah satu tetanggaku yang mau berangkat ke masjid untuk sholat subuh melihatku membuka pintu. Nah, saat itulah masalah hidup dimulai. Setelah seorang tetanggaku melihat itu, entah dari mana ia tahu kalau aku bekerja di warung kopi, kurasa ia sebelumnya telah memperhatikanku. Selang sehari sesudahnya ia memberitahu kepada orang tuaku dan hari itu pula ayah memintaku untuk berbicara dengannya. Detak jantungku berdegup kencang, sepertinya aku akan disidang layaknya aku telah melanggar aturan negara. Kekhawatiranku akhirnya memuncak ketika ayahku mulai membicarakan masalah pekerjaanku sebagai penjaga warung kopi. Ayah bertanya apa sebenarnya pekerjaanku. Ketika aku menjawab pertanyaannya, keringat mulai mengucur keseluruh tubuhku, nada bicaraku seperti orang gagap. Akhirnya aku dengan gugup terpaksa menjawab apa adanya. Kupikir ini waktunya aku jujur pada ayah, entah apa konsekuensi yang aku tanggung, tapi itulah yang akan aku pertanggungjawabkan. Ya, meskipun jujur adalah suatu hal yang berat. Terlebih lagi ini masalah pekerjaanku yang memang sebelumnya aku pernah sembunyikan dari ayahku. Kukatakan semua yang aku pikirkan dulu dan kuceritakan semua terjadi padaku sampai aku bekerja di tempat itu. Ayah hanya memandangiku, matanya meneteskan air, lalu dipeluknya badanku. Suara ayah semakin tersedu-sedu. Karena tak kuat menahan airmataku, akupun ikut menangis dan  sesekali kukatakan kata maafku sambil terpatah-patah. Setelah semua kuceritakan semua padanya, ayahku akhirnya mau menerima penjelasanku. Sepertinya ayah tak marah dengan pekerjaanku, tapi ia menasehatiku jika apapun yang terjadi, aku harus jujur dengan masalah yang kualami. Aku lega saat ini, ayahku tak marah dan aku diijinkan kerja lagi.

Namun masalah saat ini bukan dari ayahku, tetapi dari orang-orang sekitar. Setelah seseorang tersebut mengadu pada ayahku, berita pekerjaanku menyebar dari mulut ke mulut warga. Mereka selalu membicarakan aku dibelakang. Setiap kali aku lewat di depan kerumunan tetanggaku, selalu saja menatapku dengan tatapan mata yang sinis. Awalnya aku tak cukup menghiraukan mereka, akan tetapi lama-kelamaan aku merasa dikucilkan ditengah kerumunan. Seakan aku melakukan pekerjaan yang memalukan. Tak jarang pula mereka menyindir aku dengan kata-kata yang kurang enak didengar telingaku. Apa aku salah kalu aku bekerja? Ya, mungkin mereka mengira aku sama halnya dengan wanita-wanita malam yang selalu berpakaian mini dan sejenisnya. Terkadang aku menangis sendiri, kurenungi dalam hati dan sesekali aku merasa saat inilah hidupku jatuh serendah-rendahnya. Entah sampai kapan roda semesta ini tetap berhenti, aku hanya terus berharap suatu saat nanti semuanya akan membaik. Tak ada satupun memengerti perasaanku, ya satu saja. Bagaimana bisa manusia sepertiku hidup tanpa pengakuan dari seorang pun. Ini sama sekali tak kuinginkan. Sampai saat ini aku tak pernah lagi berbicara dengan tetangga-tetangga rumah dan sepertinya aku sudah terlanjur dicap wanita malam beneran? Apa mereka menganggap aku tak berbeda dengan pelacur? Mereka tak mengerti apa saja yang sebenarnya aku lakukan, tapi mereka bisa-bisanya meghakimi. Aku tak berburuk sangka, tapi itu secara tak sadar bisa aku rasakan. Mereka juga yang membuat aku tak bisa bicara pada mereka. Padahal tak sedikitpun ada niatan untuk menjauh dari mereka. Apa sebenarnya salahku? Apa salah aku bekerja? Apa salah aku membantu keluargaku? Mereka bahkan tak sungkan memperingatkanku untuk berhenti bekerja di warung itu. Apa hak mereka?
Apa salahku, Rin? Ah sudahlah, itu semua tak penting lagi bagiku, aku hanya ingin mencoba membahagiakan keluargaku saja. Erin hanya diam mendengar curhatanku dari awal sampai aku selesai bicara.

"Aku memang tak terlalu paham dengan yang kamu alami saat ini, tetapi setidaknya aku masih percaya jika semua yang terjadi pada dirimu pasti ada nilai-nilai besar dari tiap lini-lini masalah. Nilai itu yang nantinya dibuat sebagai pelajaran hidup, karena semakin banyak masalah yang kamu hadapi, semakin besar pula nilai dari dirimu. Itulah yang akan membuat dirimu semakin besar " jawabnya menanggapiku.

Jawaban seperti itulah yang terkadang aku dibuatnya bingung. Semua kata-katanya memang masuk akal, tapi aku masih tak terlalu paham dengan yang ia ucapkan. Malam itu kendaraan bermotor sedikit ramai, hanya satu kelompok pria yang duduk dikarpet. Memang tak terlalu ramai pengunjung, hanya beberapa saja. Tetapi mereka seperti biasanya, sesekali memanggilku dan menggodaku. Mungkin suasana seperti ini yang membuatku tak terlalu bisa mencerna perkataan Erin dalam hati. Suasana pecah ketika Erin juga ikut menjailiku dengan memberikan kode-kode pada mereka untuk terus merayuku. Ya, terkadang memang aku dan Erin secara bergantian melakukan hal-hal yang tak penting sama sekali. Itulah cara kita menghibur diri disela-sela kebuntuan menjadi pelayan warkop. Malam itu, semakin bertambahnya pengunjung yang datang. Ketika aku mengantarkan pesanannya tak sengaja kudengar obrolan-obrolan yang sedang mereka bahas. Kelihatannya jika dilihat dari bahasanya dia bukan orang yang biasa ngopi di warkop ini.
"Rin kamu lihat nggak cowok-cowok yang disana itu? "
"Iya lihat, emang kenapa? Suka?"
"Enggak, bukan masalah itu, tapi siapa ya mereka kok jarang lihat disini? Dari bahasanya juga kayaknya bukan orang asli sini".
"Oh itu anak mahasiswa Surabaya"
"Kok kamu bisa tahu? " tanyaku penasaran
"Iyalah tahu, wong dibelakang jaketnya kan ada tulisanya. "

"Oh iya juga ya, nggak kelihatan tadi (sambil tertawa). Rin, aku belum cerita ke kamu ya, sebenarnya dulu aku pernah bermimpi untuk melanjutkan sekolahku. Tapi kayaknya itu mustahil deh. Dulu aku selalu ngebayangin betapa indahnya mereka yang bisa melanjutkan pendidikannya di Perguruan Tinggi ya Rin?  ketika mereka nanti selesai kuliah langsung kerja enak, gaji tinggi, tak perlu mengeluarkan tenaga, jaminan kesehatan, dan tanpa harus bersusah payah untuk berkeringat. Terlebih lagi mereka yang setelah lulus dapat tawaran jadi kader partai politik, mereka pasti dapat kursi pemerintahan dan otomatis karier mereka pasti akan sukses."

"Belum tentu Put, kadang mereka yang sudah sarjana aja masih nganggur kok. Aku punya temen yang sekarang masih aktif kuliah. Aku kadang sering ngomong-ngomong sama dia tentang masalah anak kuliahan. Namanya Deni, ia dulu teman sekelasku waktu di SMA. Ia sekarang kuliah di Surabaya, tapi tepatnya aku kurang tahu. Seringkali ia bercerita tentang kehidupanya di Kampus. Katanya, mereka dididik dalam kelas yang kaku, mendengarkan dosen ceramah yang tak ada hentinya, dimatikan pikirannya oleh sistem kampus yang mengikat, harus nurut dengan aturan-aturan yang belum jelas tujuannya, dan yang paling parah mereka dituntut untuk jadi alat-alat produksi setelah lulus dari kuliah. Mereka sama saja dengan robot dong? Jadi mendingan kita kan? Yah, walaupun kita kerja fisik seperti ini tapi seenggaknya kita masih jadi manusia, bukan robot ". Sahut Erin sambil tersenyum.

Aku sedikit kaget mendengarnya, kata-katanya yang menyanggahku barusan itu baru kudengar kali ini, apa memang benar seperti itu kenyataannya, aku pun jadi mulai sedikit penasaran dengan kehidupan anak-anak kuliahan itu. Akupun masih bertanya-tanya, bukankah mereka yang semakin tinggi pendidikanya semakin tinggi pula pemikirannya, kok mereka mau dimatikan pikirannya ya?

"Lalu, apa mereka juga pernah berpikiran kalau mereka itu sebenarnya dimanfaatkan? Tanyaku lagi makin penasaran.

"Memang nggak semua anak kuliahan seperti itu, tetapi banyak diantara mereka yang sadar ataupun tidak sadar mereka tetap mau melakukannya. Oh iya, kapan-kapan aku kenalin sama temenku yang mahasiswa itu ya, katanya sih ia aktif di kampusnya, orangnya ganteng kok. Aku sering ngobrol-ngobrol sama dia kalau orangnya dirumah, malah banyak buku-bukunya yang sering dipinjemin ke aku, katanya dengan membaca karya-karyanya kita bisa bertemu dengan tokoh-tokoh besar pemikir dunia loh, sementara ini aku hanya baru baca sedikit. Mungkin lain waktu aku bisa memintanya untuk meminjamkan bukunya untukmu ".

"Oh ya, berarti udah banyak dong buku anak kuliahan yang kamu baca, tapi kayaknya nggak bisa deh kalo ketemu sama orangnya, lagipula aku kan masih harus bekerja. Kok aku jadi bingung ya, lalu yang benar itu seperti apa? "

"wkwk jangan tegang gitu dong...Sebenarnya kita nggak perlu nyari kebenaran,  kita mencari yang tepat saja. Kebenaran mutlak itu menurutku nggak ada, karena kebenaran hanya bersifat sementara. Contohnya saja seperti barusan yang kamu bicarakan soal anak kuliahan, menurutmu kan anak kuliahan itu hidupnya lebih terjamin daripada kita, itu kan menurut kebenaranmu, tetapi setelah kamu menemukan fakta yang baru yang lebih tepat tentang mahasiswa, pasti kamu akan menggangap yang lebih tepat itu yang benar. Kebenaran itu hanya sementara, karena sifatnya kontekstual, dinamis bukan statis ataupun parsial".

"Mengesankan"

"Hidup kita dimasa depan tak ada yang tahu Put, kita hanya bisa berusaha merubahnya lebih baik dari diri kita saat ini. Lagipula jalan mempertajam keilmuan, memperbaiki pendidikan bukan hanya di sekolah saja kan? Bahkan kita bisa melampaui mereka yang bersekolah tinggi secara keilmuan. Ya, hanya saja kita tak punya sertifikat tanda bukti kita belajar. Setidaknya ilmu yang kita dapat dari buku itu kita bisa terpakan dalam kehidupan sehari-hari"

Aku hanya terpaku diam seribu bahasa mendengarkan Erin, siapa yang bicara padaku barusan? Apa diadsemacam guru?  Rasanya aku seperti halnya diajari oleh guru privat sekolahku saja. Entah apa yang membuat Erin berpikiran seperti itu, tetapi kata-katanya jika dipikir ada benarnya juga. Mulai saat itu aku tertarik untuk mempelajari lebih tentang hal-hal baru yang sering aku dapat dari Erin. Kupikir tak ada ruginya belajar lagi, siapa tahu nanti aku bisa masuk sekolah lagi, dan itu bisa jadi bekal buatku sendiri. Tak jarang juga Erin memberiku buku bacaan. Yah, itung-itung buat menghilangkan kepenatan kepalaku juga. Terkadang kupikir manusia yang mengerti tentang esensi manusia sebenarnya adalah manusia yang bisa memanusiakan manusia lainya. Itu yang aku dapat dari Erin...


Comments