Mahasiswa Dilarang Ikut Organisasi

Malam ini, kopi memberiku kesan. Aku duduk dibangku warung kopi. Tepat depan kampus, sebelah jalan raya. Tak ada seorang pun yang duduk semeja denganku, ya,  hanya kopi dan sebatang rokok. Bukannya aku tak punya teman, tapi kali ini aku ingin mencari suasana baru saja. Karena rasanya tak semua hari harus berurusan dengan keramaian, sesekali butuh sendiri untuk berbicara, bercanda, dan bercinta dengan sepi, sepi dalam keramaian. Sesekali aku mendengar suara-suara orang-orang yang mengaku dirinya mahasiswa berkumpul dan berbicara dalam warung kopi. Kudengar, sepertinya mereka membicarakan bangsa Indonesia. Mereka terlihat paham dengan apa yang dibicarakan, menguasai konsepsi pengetahuan dari jaman klasik, modern, kontemporer, dan sampai ramalan masa depan bangsa Indonesia. Kulihat mereka saling bersahutan satu sama lain. Bahasanya pun sangat baku, aku sendiri terkadang tak terlalu paham dan meminta bantuan KBBI untuk menerjemahkannya. Baru saja seorang laki-laki datang. Kulit putih, badan tegak, tinggi, rambut klimis, pakaian rapi dengan kopyah hitam yang menumpang dikepalanya menuju sekumpulan mahasiswa yang duduk bersamaan itu. Sembari berjabat tangan dengan orang-orang itu,  ia menyapa.
 "sudah lama?, maaf saya baru saja dari kampus".
"nggak papa pak, saya paham kesibukan anda. Lagian kami juga belum terlalu lama". 
" sudah dimulai diskusinya?"
"ini baru saja dibahas latar belakangnya, sembari menunggu bapak"

Ternyata orang-orang itu sedang diskusi, menunggu pemantik. Tak sengaja aku ikut mendengar. Yang dibahas soal isu politik, tepatnya pilpres 2019. Ya, saat ini memang lagi gencar dan mewabahnya isu politik dikalangan masyarakat, masyarakat mahasiswa. Story WhatsApp mulai beredar, siapa yang didukung, siapa yang dijatuhkan. Beranda IG mahasiswa mulai muncul memberikan kata-kata bijak, ada akun netral, akun pendukung, dan akun spesialis penebar kebencian.Tujuannya apa?  Ya, pasti soal persepsi keperpihakan. Entah berpihak calon ataupun golput. Mahasiswa yang ikut organisasi gerakan mulai ramai diperbincangkan. Tentang dukungan. Pasalnya, tokoh-tokoh parpol mulai berdatangan menemui pimpinan-pimpinan organisasi mahasiswa. Kedatangannya secara formal sebagai tokoh inspirasi. Namun hal itu mengundang permasalahan. Ada yang bilang suntikan dana mulai dilakukan, kursi jabatan diberikan, jaminan karier dan tawaran-tawaran lainnya. Wacana itu mulai dianggap jika organisasi gerakan kemahasiswaan adalah onderbouw parpol. Mereka (organisasi gerakan) dituduh akan mendukung dan ikut partisipasi sebagai tim kemenangan. Ada yang bilang karena yang mencalonkan diri adalah alumni organisasi ataupun kedekatan organisasi dengan salah satu partai.

Kupikir memang tak menutup kemungkinan hal itu benar adanya, karena para kader partai memang akan melakukan apapun untuk memenangkan calonnya. Dampak wacana itu, ada dua kemungkinan yang terjadi. Pertama, para mahasiswa akan selalu berpikir dua kali untuk ikut dalam organisasi gerakan karena mereka (mahasiswa idealis) lebih mementingkan tujuan organisasi yang sebenarnya. Kedua, organisasi gerakan akan ramai pendaftar yang bertujuan untuk mencari jalan menuju kursi pemerintahan, dengan alasan organisasi tersebut memilki kedekatan lebih dengan parpol.

Mahasiswa dilarang ikut organisasi!
Karena organisasi akan memberitahu tentang bagaimana kondisi bangsamu, memberikan pengertian tentang ideologi, dan memaksa untuk bergerak mempertahankan ideologi. Ya, lebih baik tidak mengetahui sama sekali dan bersikap seakan-akan sedang baik-baik saja. Itu cukup!

Kutinggalkan pikiranku tentang perbincangan mereka, kuangakat gelas yang berisi kopi kearah mulutku dan kuminum untuk menetralisir kehangatan hatiku yang terpaksa berpikir ketika mendengar diskusi itu. Sementara sebatang rokok yang telah kunyalakan telah menjadi abu tanpa kuhisap. Ah sialan! Rokok tinggal satu, habis lagi. 

Comments