Kurasa Rijal tak terlalu paham cara minum kopi


Hari ini cuaca sangat cerah, kulihat matahari tak sedikitpun tertutupi awan. Musim kemarau masih begitu terasa. Tepat jam 12.00 WIB, jeda istirahat mata kuliah, kuputuskan keluar kelas sebentar melepas kepenatan kepala dengan mencari minuman. Dalam beberapa hari ini memang cuaca alam sedikit panas sampai-sampai suasana kepala mahasiswa di kampus pun ikut memanas. Apa ada hubungannya? Kurasa tidak sama sekali hehehe.

Memang hari-hari ini suasana kampus sedikit memanas. Dari mulut ke mulut, whatsap ke whatsap, akun Instagram, tulisan-tulisan yang tertempel didinding kelas, sampai warkop ke warkop mengabarkan adanya isu pembubaran Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM), Mahkamah Konstitusi Mahasiswa (MKM). Ya, isu itu tersebar luas keseluruh lini kampusku. Hal itu membuat mahasiswa lain berkutat mencari siapa dalang dari isu yang tersebar itu. Isu itu menjadi trending topik, dan tak jarang menjadikannya bahan diskusi oleh mahasiswa.

Sasaran mereka sudah jelas, Organisasi Eksternal kampus (Ormek). Ya, mahasiswa pasti mengarah kesitu. Kenapa? Karena Ormek adalah organisasi yang dilarang oleh pihak kampus. Itu alasan terkuatnya, dan kurasa masuk akal juga. Eh, jangan salah paham dulu. Bukanya aku ikut-ikutan menyudutkan mereka, tapi kalau dilogika masuk akal juga sih. Tulisan-tulisan mulai beterbangan di medsos. Ada yang menyatakan sikap setuju, ada pula yang tidak. Mereka yang setuju pembubaran BEM, DPM, MKM beranggapan jika ketiganya itu membuat mahasiswa semakin jauh dari masyarakat. Dan mahasiswa semakin menyibukkan diri dengan hal-hal yang berurusan dengan kampus. Ditambah lagi, kampus yang dibikin sebagai miniatur negara itu adalah warisan dari masa Orde baru.

Mereka yang tidak setuju beranggapan jika tindakan tersebut adalah hasil dari propaganda Ormek belaka. Secara legalitas kampus, memang Ormek adalah organisasi terlarang, dan hal tersebut sudah diatur dalam keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor: 26/DIKTI/KEP/2002 Tentang Pelarangan Organisasi Eksternal Kampus atau Partai Politik dalam Kehidupan Kampus. Jadi dengan pelarangan itu, mahasiswa lain menganggap mereka (Ormek) melakukan suatu aksi yang dapat mepermudah tujuan mereka untuk masuk kampus yang dalam hal ini dianggap saling memperebutkan kekuasaan, yaitu BEM sebagai ajangnya. Pandangan lain juga mengatakan bahwa ormek berafiliasi dengan partai politik, dan hal itu membuat maindset mahasiswa lain melihat Ormek tak lepas dari politik praktis.

Perbedaan pandangan itu membuat saling salah-menyalahkan satu sama lain, antara mahasiswa netral (tidak sebagai anggota ormek) dengan mahasiswa dari Ormek. Pula sikut-menyikut terjadi antara Ormek satu dengan Ormek yang lain. Ditengah isu pembubaran BEM, DPM, MKM yang semakin memanas, kusinggahkan diriku di kantin kampus untuk sedikit meredakan kejenuhanku saat ini. Dinding-dinding kantin juga masih terlihat adanya tulisan-tulisan hastag 2019 ganti sistem (pembubaran BEM, DPM, MKM). Kupesan kopi, meskipun cuaca panas. Bagiku, kopi dengan kekuatannya bisa sedikit meredakan pikiranku dari masalah. Setelah kopiku diantarkan, tak lupa kusediakan beberapa batang rokok untuk menemaninya. Kasianlah kalau kopinya jomblo.

Tak lama berselang, temanku datang. Namanya Rijal, berbeda jurusan denganku, dia salah satu aktivis kampus, katanya. Aku sendiri juga belum terlalu paham definisi aktivis itu seperti apa. Ia salah satu mahasiswa yang masih bersih, bukan perokok aktif. Tanpa menyapa, bersalaman, ia langsung meminum kopiku. Srrruppp... Sssrruupp... Srrup.. Bunyinya kedengaran begitu nyaring. Kopi yang barusan jadi kini tinggal setengah.

"jancok, minum kopi sama es itu beda. Minum kopi itu dirasakan dikit demi dikit, rasanya dinikmati. Wong minum kopi kok kayak minum es" kuungkapkan kekesalanku padanya. Ia pun hanya tersenyum padaku dan tak membalas kata-kata yang kuungkapkan tadi. Ya, aku kesal saja lihat caranya minum kopi yang seperti minum es degan. Mungkin karena ia bukan perokok aktif, jadi cara ia menikmati kopi sedikit berbeda denganku. Akhirnya kumaklumi saja kelakuan si Rijal tadi.

Terlintas seketika didalam pikiranku tentang kesamaan cara minum kopi Rijal dengan cara mahasiswa disini memandang isu pembubaran itu. Mereka (mahasiswa) yang tidak terlibat langsung dalam alur permainan wacana itu akan berbeda cara melihatnya. Tanpa menilik latar belakang dan tujuan dimaksudkannya isu tadi memang akan secara terang-terangan menyatakan sikap. Tanpa menikmati seluruh bagian yang terkait secara frontal mengecam keras.

Kenapa BEM dan sacamnya harus dibubarkan? Bukankah tujuan adanya BEM dll membuat mahasiswa belajar tentang politik sekaligus menjadi pengawas kebijakan pemerintah? Ya, secara historis, sebelum nomenklatur BEM terbentuk, Oraganisasi serupa sudah ada pada sebelum era Orba. Meskipun namanya berbeda, pada waktu DEMA (dewan mahasiswa) pada tahun 1950-an. Tapi inti pemanfaatannya kan tak jauh beda. Tak perlu kukupas habis masalah sejarahnya, anda bisa membaca sendiri. Hanya saja mahasiswa jaman sekarang dengan dulu sedikit berbeda dalam hal implementasi. Apakah dengan membubarkan BEM, DPM, MKM akan merubah pola pikir mahasiswa untuk kembali dekat pada masyarakat? Tidak kurasa.

Apakah ketika Ormek diakui secara legalitasnya oleh kampus merubah kondisi kesempitan pemikiran mahasiswa? Apakah mahasiswa dapat kembali menjadi mahasiswa sesungguhnya sesuai peranan dimasyarakat? Jawabanya masih sama. Aku tak membandingkan mahasiswa sekarang dengan mahasiswa dulu, karena kurasa jaman pun berbeda. Tetapi setidaknya bukan menjadi mahasiswa yang mengurusi mahasiswa. Mahasiswa kok ngurusi mahasiswa.

Sedikitnya melakukan tindakan sederhana yang tak menghilangkan fungsi-fungsi mahasiswa tanpa harus saling menyalahkan. Sistem yang membungkam suara mahasiswa? Mahasiswa dididik seperti komoditas yang diperjualbelikan untuk pabrik? Pengebirian mahasiswa dari fungsinya? Iya semua jawabannya benar. Lantas kalau sudah tahu, diam saja? Hanya berkoar-koar dalam kampus? Kalau merasa sadar ya memperbaiki dari tatanan yang salah, pola pikir yang salah, tindakan yang salah. Simpel kan? Yang lebih membatasi ruang gerak mahasiswa sebenarnya bukan sistem, tapi mentalitas dan pola pikirnya sendiri.

Saat ini memang mentalitas dan pola pikir mahasiswa perlu dipertanyakan. Kemana mahasiswa ketika warga Papua diusir dari tempat tinggalnya dan dijadikan sebagai perumahan karyawan Freeport. Kemana mahasiswa ketika pembubaran diskusi mahasiswa Papua di Surabaya dengan alasan yang tak masuk akal. Kemana mahasiswa ketika semakin hari sawah mulai habis di negeri agraris dengan dalih pembangunan. Apakah tak lebih penting dari isu pembubaran BEM, DPM, MKM di kampus tercinta ini?
Kurasa daripada bubarkan BEM, DPM, MKM, lebih baik bubarkan saja mahasiswa yang kurang ngopi, biar tak seperti Rijal yang tak tahu cara minum kopi.

Tak terasa kopiku sudah habis disela-sela kutulis cerita ini, dan aku pun hanya minum seteguk saja. Pelakunya sudah bisa kalian ditebak, Rijal. Orang yang tak tahu cara minum kopi.  Emang jancok si Rijal.


Comments