Andai Aku Dapat Memilih Golput dalam Pilpres


Sebagai implementasi sistem demokrasi di negara kita, Negara Republik Indonesia, diwajibkan untuk berpartisipasi aktif dalam pergantian kepemimpinan negara. Mengenal, mengetahui visi-misi, latar belakang partai, prestasi kebangsaan, dan seluk-beluk kehidupan Capres dan Cawapres, adalah salah satu metodenya. Saat ini, semua itu sudah bisa kita akses lewat sosialisasi politik yang dilakukan oleh para timses Pasangan Calon Presiden, atau bahasa awamnya kita kenal dengan istilah kampanye.

Sebagai pemilih pemula, aku dituntut menelusuri semua kondisi politik negara dan para Capresnya sebelum memilih. Kampanye sudah aku dapatkan lewat lembaga pendidikan, yang lebih tepatnya Kampus. Untuk informasi kehidupan Paslon kuketahui lewat media sosial, koran, majalah, atau buku-buku-buku biografinya. 

Akan tetapi, tak jarang masyarakat yang menilai kampanye dalam lembaga pendidikan sangat kontroversial fungsinya. Ada yang bilang, harusnya ada pemisahan antara lembaga pendidikan dengan politik. Ada juga yang bilang sepakat dengan masuknya kampanye dalam lembaga pendidikan dengan alasan pemilih pemula lebih mengetahui tentang politik pemerintahan negara. Meskipun sebenarnya kampanye dalam lembaga pendidikan di luar negeri sudah bukan hal asing lagi.

Setelah para timses memperkenalkan paslon-paslon dengan berbagai macam bentuk program kerjanya yang ditawarkan, aku sedikit banyak mulai mengerti atmosfer politik di negeri ini. Mulai dari proses pemilihan Paslon sampai apa yang akan dilakukan Paslon 5 tahun kedepan jika mereka terpilih.

Dilain sisi, berita-berita keburukan dan kecacatan paslon dalam pemerintahan mulai menyebar dan viral di media sosial. Entah itu hanya propaganda para simpatisan, ulah oknum yang tidak bertanggungjawab, ataupun memang benar adanya aku tidak sepenuhnya tahu. Yang bisa aku lakukan setiap berita-berita itu muncul, secara otomatis aku disibukan untuk mencari kevalidan data yang dicantumkan dengan berbagai sumber sebisanya.

Media, yang saat ini merupakan salah satu poros keberhasilan dalam proses kampanye yang dilakukan oleh para timses paslon. Terlebih lagi sasarannya adalah kaum pemuda,  yang pada saat ini gadget bukan hal baru lagi dikalangan pemuda.

Doktrinasi ataupun agitasi propaganda pun tak bisa ketinggalan dalam hal ini. Karena itu seakan sudah menyatu dan menjadi budaya kampanye di negeri kita. Dengan tujuan megetahui sejauh mana kekuatan suara partai pendukung sampai meningkatkan elektabilitas paslon, maka strategi-strategi media tersebut diluncurkan.

Andai aku dapat memilih menjadi golput pada Pilpres 2019, pasti aku akan melakukannya. Dan bukan tanpa alasan untuk berpikir demikian. Karena.....baru-baru ini dimunculkan kabar media tentang penyerangan dan pengitimidasian antara kubu satu dengan kubu kedua, yang tak lain adalah pendukung Paslon. Dimunculkannya lagi kabar media tentang satu saudara yang saling menyerang sampai keduanya babak belur. Tak hanya di media sosial, diwarung-warung kopi pun sama. Dalam sebuah forum kopi pun masih ada yang terlihat mesdiskreditkan salah satu pihak.

Melihat kabar-kabar duka dari media secara tidak langsung merubah pola pikirku. Mengapa masyarakat sampai lupa kemanusiaan, hanya karena berbeda pilihan Capres dan Cawapres? Mengapa adanya pergantian Presiden malah jadi kericuhan dimana-mana? Semakin hari semakin kubertanya-tanya sendiri, dan akhirnya aku merasa takut untuk memihak salah satu paslon.

Apa jadinya nanti kalau aku ketemu dengan orang-orang yang berbeda pilihan denganku. Apakah diharuskan bertengkar?  Atau harus merubah pilihanku supaya sama dengan orang yang kuajak bicara?

Kekhawatiran mulai memenuhi pikiranku. Penyadaran seperti apa yang dibutuhkan oleh orang-orang yang terlalu fanatik dengan pilihannya, sampai lupa perbedaan pendapat dalam demokrasi itu dibutuhkan. Jika tingkat kedewasaan dalam menentukan sikap politik masih rendah, salah satu pencegahannya adalah golput. Dengan golput kita tak mungkin diitimidasi, didiskreditkan, diserang oleh orang lain. Mau diserang gimana, Lha wong kita golput. Betul kan?

Namun, saat ini aku masih tidak bisa memilih golput. Ya, kewajiban sebagai warga negara harus dilaksanakan. Kementerian dalam negeri (kemendagri) mencatat sebanyak 5.035.887 pemilih pemula yang akan berumur 17 tahun pada 1 Januari 2018 sampai 17 april 2019. Selanjutnya, pemilih pemula dan pemuda yang sudah tercatat sebanyak 14 juta lebih.

Dengan pemilih pemula sebanyak itu, jika mereka sama berpikiran untuk memilih golput pada Pilpres 2019, ya wassalam. Karena sejatinya, dalam sebuah negara harus ada pemimpin. Mau gak mau ya tetep harus memilih, dan itu sebuah tanggung jawab. Dan jika semua paslon tidak memenuhi kriteria anda, setidaknya pilih yang lebih baik diantaranya.

Pemilih pemula atau yang disebut sebagai kaum muda, lebih-lebih yang berpendidikan merupakan kunci utama keberhasilan pesta demokrasi lima tahunan itu. Ya, pemuda harusnya lebih intens mengikuti perkembangan politik negara dan dapat memberikan kontribusi yang nyata, salah satunya memahami etika dalam sebuah demokrasi. Disisi lain itu sebagai pengetahuan, juga sebagai pengawas jalannya sebuah roda pemerintahan negara. Dengan demikian, tak ada yang perlu dikhawatirkan.


Comments