Bertaruh dengan "harapan"

Hujan hari ini tak kunjung mereda, angin masih berhembus kencang menerpa pepohonan yang berdiri, air mulai menggenang disetiap sudut jalanan. Namun aku tahu hujan tak setiap detik akan turun, angin tak selalu kencang, dan genangan tak akan bisa lama bertahan.

Terlintas ingatanku pada masa itu, saat aku menjadi seorang pejalan kopi, kerjaanku tak jauh dari warung ke warung kopi mencari sesuatu yang bagiku dapat berarti. Tiap hari lebih dari 1/3-nya aku bersanding dengan secangkir kopi hitam pahit yang selalu ditemani beberapa gulungan tembakau yang terkemas rapi. Sementara waktu sisanya kugunakan bercumbu dengan buku.

Betapa cintanya aku dengan secangkir kopi, sampai lupa dengan singkatnya waktu yang semakin sempit untuk menjalani kehidupan yang berharga ini. Kupikir dengan aku mencintai kopi dan buku aku dapat menemui kebijaksanaan pemikiran seperti yang telah lama para cendikiawan ramalkan.

Satu persatu ramalan cendikiawan kucoba wujudkan, dengan sedikit perubahan strategi dan taktik yang sesuai pada jaman. Mulai pembicaraan, kajian, kesimpulan, tulisan, dan jalanan kulalui demi kelancaran keberlanjutan mencapai ramalan yang diharapkan. Proses yang cukup panjang dari tahapan satu menuju tahapan berikutnya. Namun tak sedikitpun membuat asa perjuanganku berhenti sampai disini.

Setelah beberapa kali perjuangan yang usai kulakukan mencapai sebuah klimaks perwujudan, aku beranjak untuk menciptakan harapan yang sebelumnya hanya sebatas angan. Bantuan dan dorongan dari teman seperjuangan menjadi tunggangan untuk mewujudkan harapan.

Waktu pun berubah semakin sempit ketika sebuah ambisi penciptaan harapan ingin menjadi sebuah hal yang benar-benar nyata. Jarum jam tak pernah sejalan dengan pemikiran, selalu mendahului kenyataan yang kuharapkan. Sampai suatu saat langkah kaki berhenti berjalan, dihancurkannya satu persatu kata yang belum tersambung menjadi kalimat harapan. Saat itu pula aku merasa terhenti untuk berpikir menciptakan sebuah ramalan.

Kegelisahan semakin merasuki setiap sisi-sisi hati, semakin hari kopi yang kuagung-agungkan kini menjadi sesuatu yang tak berarti lagi, gulungan tembakau yang kuhisap tak lagi memberikan kenikmatan suasana pemikiran, dan angan hanya sebatas angan, bukan harapan.

 Aku tersadar, kegelisahan ini akan terus mengendap sampai suatu waktu yang akan membangunkan dari kenyataan fana dan menghendaki berlari lagi menuju suatu harapan yang benar-benar dapat aku wujudkan.

Comments