Isu Perempuan dan Gender Tak Pernah Usai, Kenapa?
Bahwa soal perempuan justru semakin menjadi most debated—selalu menjadi perdebatan dalam masyarakat.
Di
negara kita, Indonesia, isu perempuan dan kesetaraan gender sepertinya selalu
tak pernah henti menjadikan telinga kita panas. Pembicaraan perempuan dan kesetaraan
gender memang sudah bukan suatu hal yang tabu lagi, namun dari beberapa
peristiwa dalam masyarakat selalu menarik kembali pada satu benang persoalan,
kesetaraan gender (gender equality). Lantas, mengapa soal perempuan dan
kesetaraan gender selalu kita bicarakan? Bung Karno dalam bukunya, Sarinah,
menjawab tegas bahwa soal wanita adalah soal masyarakat! Artinya, ketika
berbicara soal masyarakat juga harus berbicara tentang apa saja isi dari
masyarakat, laki-laki dan perempuan.
Kesetaraan
gender yang cita-citakan semakin menuai perdebatan bagi dua kalangan
manusia—kaum laki-laki dan perempuan. Betapa tidak, berbicara soal gender
seperti bicara sesuatu yang kabur dan utopis semata. Kesetaraan gender yang tercapai
ketika laki-laki dan perempuan mempunyai peran yang sama di semua sektor
kehidupan, seperti halnya peran ekonomi, sikap, pengambilan keputusan, dan
pembangunan negara hanya berkutat sebatas ideologi saja.
Realitasnya,
terlalu sering fenomena yang terjadi dalam masyarakat masih mendiskreditkan
perempuan yang hakikatnya sebagai bagian dari masyarakat itu sendiri, secara
kultur ataupun struktur. Suatu contoh; dalam organisasi melakukan musyawarah
untuk memilih pemimpin di masa kepengurusan mendatang memilih atas dasar jenis
kelamin—laki-laki. Contoh itu menunjukan betapa tidak adilnya anggota-anggota
organisasi yang memilih pemimpinnya hanya karena jenis kelamin.
Singkatnya,
dalam tulisan kali ini saya ingin membahas persoalan gender dari arus jaman dan
mengapa sampai saat ini seakan belum usai juga.
Stigmatisasi
Perempuan
Sering kita
menjumpai anggapan bahwa perempuan adalah sumber dari segala keburukan. Seperti
bahwa perempuan adalah sumber fitnah. Dia menjadi asal dari segala malapetaka
yang terjadi pada manusia. Saat terjadi masalah sosial yang melibatkan
interaksi antara perempuan dan laki-laki, perempuan selalu dituduh menjadi
biang keladinya. Dalam nada yang hampir sama, perempuan juga disebut sebagai “cobaan”
bagi laki-laki. Seolah perempuan adalah penghalang bagi laki-laki untuk
mendapatkan tujuan hidup.
Anggapan-anggapan
itu bukan hanya dilontarkan oleh masyarakat awam berdasarkan cerita yang
melebar dari mulut. Bahkan Aristoteles, seorang filsuf berpandangan bahwa perempuan
lebih rendah dari pada laki-laki. Dalam karyanya Politics,
Aristoteles menyatakan "mengenai jenis kelamin, laki-laki secara alami lebih
unggul dan perempuan lebih rendah, penguasa laki-laki dan subjek
perempuan". Dia mengklaim bahwa perempuan "lebih nakal, kurang
sederhana, lebih impulsif, lebih berbelas kasih, lebih mudah menangis, lebih
cemburu, lebih cenderung untuk memarahi dan untuk menyerang, lebih rentan
terhadap putus asa dan kurang berharap, lebih banyak kekosongan dari rasa malu
atau harga diri, lebih banyak salah bicara, lebih menipu, lebih banyak daya
ingat juga lebih sadar; lebih menyusut,
dan lebih sulit untuk bangkit untuk bertindak "daripada laki-laki.
Berdasarkan anggapan-anggapan
itu, menjadi dogma yang dianut oleh banyak kalangan dan kemudian dianggap
sebagai kebenaran mutlak dalam suatu masyarakat. Konstruksi sosial tentang
perempuan lebih rendah (stigmatisasi perempuan) yang dibangun telah menancap
dalam pada dasar pemikiran masyarakat menjadikan keyakinan itu semakin menjadi
suatu hal yang tak terbantahkan dan sulit dirubah.
Dalam
perkembangannya, stigmatisasi perempuan memang menjadi penghalang serius dalam
kehidupan sosialnya. Laki-laki digambarkan sebagai kaum yang kuat (superior)
dan kaum perempuan adalah kaum yang lemah (inferior). Sejauh ini, tugas-tugas
secara umum dibagi secara merata, tetapi kesepakatan khusus itu mengakibatkan
laki-laki mengembangkan fisik, dan perempuan tidak diberikan kesempatan untuk
mengembangkan kemampuannya. Ketidakseimbangan fisik inilah yang membuat
laki-laki mengetahui inferioritas perempuan sebenarnya berusaha untuk mengambil
alih posisi terkuat. Dan salah satunya cara kikuk untuk menyeimbangkan
“ketidakseimbangan” ini bisa dipikirkan laki-laki untuk menyelesaikan masalah
khusus adalah dengan menggunakan kekuatan brutal demi kekuasaan (power).
Gerakan Perempuan
dan Dominasi Laki-laki
Tentu kita sudah
terlalu usang jika mendengar kata “gerakan feminis” dan sepertinya tak usah
lagi menjelaskan apa itu feminisme (baca-feminisme). Gerakan-gerakan feminis
yang dilakukan oleh perempuan saat ini telah hampir merata di penjuru dunia,
dalam artian mereka (perempuan) telah sadar tentang kedudukannya dalam
masyarakat. Namun, kadang kali gerakan yang dilakukan tak selaras dengan hasil
yang diterima. Adapun gerakan itu tak tepat sasaran, juga ada yang terlalu ekses.
Menengok sedikit
ke belakang tentang gerakan feminis Eropa, apakah kaum perempuan Eropa itu
sudah sejajar dengan laki-laki? Atau bahkan berlebihan? Gerakan feminis yang
dilakukan itu belum sepenuhnya tepat, acapkali gerakan feminis dianggap sebagai
suatu gerakan yang meleburkan batas-batas antara laki-laki dan perempuan.
Artinya, gerakan feminis yang dipahami sebagai gerakan meniadakan kodrat
sebagai perempuan, bukan sebagai kesetaraan peranan perempuan. Maksud baik feminisme
untuk persamaan hak antara perempuan dan laki-laki itu di-eksesi dengan mencari
persamaan dalam segala hal dengan laki-laki; persamaan tingkah laku, persamaan
hidup, persamaan bentuk pakaian, dan persamaan lain yang mengingkari
kodrat-kodrat sebagai perempuan. Kesetaraan yang seperti itulah yang membuat
cacat gerakan feminisme.
Sedangkan disisi
lain, kaum laki-laki yang mula mendapatkan dominasi kekuasaannya diatas kaum
perempuan telah merasa geram dengan isu-isu yang berisikan tuntutan-tuntutan
kesetaraan gender. Terlebih dengan adanya gerakan perempuan yang terlalu ekses
itu. Secara otomatis, mereka (laki-laki) akan menentang dengan dalih-dalih
kodrat perempuan hidup di dunia. Dominasi laki-laki atas kedudukan sosial dalam
masyarakat masih selalu dapat kita lihat sehari-hari. Di Indonesia pun terdapat
banyak sekali perempuan yang hanya tinggal menerima suatu keputusan atau
kebijakan dari kaum laki-laki tanpa pertimbangan dari perempuan, meskipun atas
diri perempuan itu sendiri. Kaum perempuan hanya bisa diam-diam melaksanakan
apapun keputusan itu. Hal itu masih sering ditemui di lingkungan keluarga,
sekolah, juga di lingkungan tempat kita berada.
Masyarakat sudah
terlanjur mengamini bahwa perempuan adalah kaum yang lebih rendah daripada
laki-laki. Ditambah lagi dengan dominasi kekuasaan laki-laki yang mempersempit
peluang perempuan sebagai salah satu bagian dari masyarakat berperan dalam
segala sektor kehidupan. Kesetaraan gender akan sangat sulit tercipta jika
belum ada pemahaman yang sepenuhnya tentang gerakan perempuan itu sendiri.
Sebab, jika dilihat lebih jauh perempuan Indonesia berbeda dengan perempuan di
Eropa. Perempuan Indonesia punya kultur sendiri yang menjadi pedoman untuk
mempertimbangkan keberlanjutan gerakan-gerakan kesetaraan gender itu.
Lantas, penyebab
persoalan perempuan dan kesetaraan gender yang sepertinya tak pernah usai dari
jaman ke jaman adalah kultur-kultur pemikiran usang yang terlanjur diamini oleh
masyarakat telah menjadikan faktor penghambat, pun dengan egoisme-egoisme salah
satu pihak (laki-laki atau perempuan) yang sukar dihilangkan. Dengan memahami
kedudukan sosial dan kodrat sebagai manusia akan membantu mewujudkan masyarakat
yang ideal, juga kemanusiaan yang adil dan beradab (baca lagi- Pancasila).
Comments
Post a Comment