Aku adalah Aku yang Mereka Ketahui

       
 "Putri", suara itulah yang sering aku dengar ketika orang-orang memanggilku. Kurasa tidak terlalu penting siapa namaku saat ini.  Apalah arti nama yang sebenarnya, bukankah yang terpenting ada kata untuk memberikan identitas pada aku. Dan "aku" sendiri, hanyalah aku yang mengaku-ngaku aku, itu sih yang aku tahu. Aku seorang perempuan yang dilahirkan 20 tahun yang lalu dan dibesarkan dalam keluarga yang kurang beruntung dalam hal ekonomi. Pekerjaanku sehari-hari sebagai penjaga warung kopi yang terdapat disalah satu jalanan kota. Warung kopi tempatku bekerja berbeda dengan warung kopi kebanyakan yang punya tempat yang memadai, fasilitas tempat duduk, wifi, danlainya. Warung kopi tempatku bekerja hanyalah seperti stand jajanan yang berdiri diatas trotoar. Tak ada kursi, kamar mandi, tempat duduk pun hanya lesehan dengan alas karpet kecil yang tertempel pada ubin trotoar . Setiap hari aku selalu berada diatas trotoar jalan setelah terbenamnya sang mentari sampai mulai munculnya lagi. Dulu sempat berpikir untuk mencari pekerjaan yang lain, namun aku sadar dijaman ini ijazah SMA bisa kerja enak dan gaji tinggi dimana, terlebih lagi aku tak punya modal dan keterampilan lain untuk membuka usaha. Selain itu, aku juga tidak bisa berlama-lamaan menganggur. Aku bekerja untuk membantu kebutuhan sehari-hari keluarga, karena aku tinggal bersama ayah dan dua adikku yang saat ini masih bersekolah. Mungkin itu cukup untuk tahu sedikit tentang kehidupanku, hari ini sudah mulai petang dan aku harus kembali ke rutinitas sehari-hari sebagai penjaga warung kopi. Malam ini aku sedikit senang karena kudengar ada satu pegawai baru yang malam ini baru mulai bekerja. Ya, karena kalau bekerja sendirian bagiku tak terlalu menyenangkan. Aku berangkat pukul 18.00 dari rumah dan sesampainya disana aku segera membantu menyiapkan barang-barang yang perlu ditata rapi buat para pengunjung warung kopiku. Kulihat pegawai baru itu sudah datang, nampaknya ia diberikan arahan dari mbok darmi. Mbok Darmi adalah bos sekaligus mandor yang mempunyai warung kopi itu. Ia sudah tidak bersuami lagi dan ia merupakan tipe orang yang selalu kelihatan mengerikan bagi para pegawainya, jadi tak heran jika banyak para pegawai yang keluar masuk. Mungkin karena aku sudah terbiasa menghadapi mbok Darmi, jadi aku masih betah dengan pekerjaan ini. Kudekati pegawai baru itu yang dari raut wajahnya terlihat masih bingung mau bekerja. Namanya Erin, ia mempunyai perawakan yang cantik dan kelihatannya ia baru lulus dari SMA tahun ini. Lalu kuberi sedikit arahan untuk apa saja yang perlu ia lakukan malam ini. Erin sepertinya anak yang penurut dan ramah, jadi dengan waktu yang  sebentar  aku akrab denganya. Jika aku melihat Erin, rasanya aku jadi teringat masa dulu, saat aku pertama kali mulai bekerja di warung kopi itu. 
         Malam itu, ketika pertama kalinya aku mulai bekerja, semua banyangan pekerjaan yang sebelumnya aku pikirkan semuanya terbenturkan oleh kenyataan. Saat itu aku datang kewarung itu setelah petang dengan wajah polos berpakaian seadanya dan tanpa satupun make up yang menempel wajahku. Ketika Mbok Darmi melihatku, seketika itu pula aku merasakan firasat yang buruk tentang hal ini. Tatapanya tajam, dahinya mengerut, dan alisnya tegak lurus seakan-akan ia ingin membunuhku. Kuperhatikan bibirnya yang tebar dan merah darah itu mulai sesikit membuka dan akhirnya keluar bunyi agak perlahan yang terdengar di telingaku "mbak, siapa yang mau ngopi disini kalo penjualnya saja tak berwarna". Aku pun tercengang mendengarnya. Dan tak sepatah katapun kukeluarkan dari mulutku. Pikirku nanti mungkin jika aku jawab urusanya jadi tambah panjang. Dengan cekatan aku langsung saja ikut membantu mbok Darmi menata karpet dan gelas yang mau ia pakai nanti. Sembari merapikan aku terus mencoba memahami apa sebenarnya tujuan mbok Darmi bilang seperti itu. Kata-kata itu terus mmemaksam berpikiran tak henti-hentinya. Setelah semuanya rapi, aku pun duduk di kursi plastik yang disekelilingku terlihat seperti tumpukan alat-alat dapur. Hampir sejam lebih aku menunggu pelanggan yang datang, dan satupun tak ada yang menghampiri warung ini. "apa ada yang mau ngopi ditempat ini? ". Pikirku. Kecemasanku dan rasa penasaranku terhadap tempat ini terus masuk dalam pikiranku, ditambah lagi Mbok Darmi dengan kata-katanya. Rasanya aku seperti anak burung gereja yang ditodong dengan senapan. Setelah beberapa saat, akhirnya terlihat beberapa laki-laki separuh baya mengendarai motor yang berjumlah lima orang berhenti tepat didepan karpet kecil yang sebelumnya aku rapikan itu. Bersamaan dengan itu terjadilah percakapan antara aku dengan Mbok Darmi.
"Bukanya nanti kalo mereka mau pesen dateng kesini ya buk? ".tanyaku
"Kalau nunggu mereka kesini ya nanti, tunggu sampe pagi". Sahut Mbok Darmi.
"Berarti ini saya kesana?".
"ya iya lah mbak, nanti sekalian tawarin rokok, makan, atau jajan! ". Jawabnya dengan tegas.
Segeralah aku menujunya dengan tergopoh-gopoh, diperjalanan menujunya seakan-akan aku terbebani dengan pertanyaan-pertanyaan dari diriku sendiri. Semakin berjalannya waktu, detik demi detik semakin aneh warung kopi ini menurutku. Kelima laki-kaki itu menyambut kedatanganku dengan tatapan yang sama, terlihat dari matanya yang tak berkedip sekalipun. Lalu kutanyakan pesanan mereka, kutarik selembar kertas dari buku tadi. Mereka tak menjawab pertanyaanku dan malah mereka tanya balik padaku.
"kamu pegawai baru ya? ". Tanya salah satu laki-laki itu
"iya mas, baru mulai malem ini, kenapa mas?"
"oh, nggak papa kok mbak".
"pesan apa mas?"
"kamu cantik mbak"
Aku agak kaget mendengarnya, awalnya kupikir mereka mungkin hanya iseng saja. Tetapi setelah kutanyai lagi mereka dan tak satupun mereka yang menyebutkan pesanannya.
"pesan apa mas? "
"pesen kamu aja duduk sini"
"pesen apa mas?"
Pertanyaan itu terus aku ulangi, dan mereka tak juga bilang pesanan mereka. Sebenarnya dalam hati aku merasa terganggu dengan ucapan mereka, tapi tetap kucoba menahannya karena mereka pengunjung pertamaku. Karena mereka tak juga memesan, terpaksa kupasang wajah kesalku dihadapan mereka yang terus mencoba merayuku. Setelah beberapa saat mereka akhirnya bilang pesanan mereka, dan kutulis dilembaran kertas. Entah mereka hanya membmem lelucon atau memang benar merayuku, tapi aku tak terbiasa dengan itu, apalagi mereka terlihat seperti om-om. Lalu segera ku jalan lagi menuju tempat dimana kopi-kopi itu dibuat. Kunyalakan kompor gas, kutata gelas-gelas yang kuambil dari rak diatas meja dan kubuatkan pesanan mereka. Kekhawatiranku ketika Mbok Darmi melihat barusan yang terjadi membuatku gelisah, dan terdengar pelan ditelingaku "Lain kali jangan seperti itu ya, kalau itu diulang lagi ya gabakal balik lagi pengunjungnya". Celetuk Mbok Darmi. Seketika itu aku tak berani menatap matanya, dan aku hanya bisa menunduk diam menghadapi Mbok Darmi. Setelah semua pesanan telah tersaji lalu kuantarkan ke mereka berlima yang nampaknya sedikit kecewa dengan perlakuanku. Ketika aku mengantarkan pesananya mereka tak satupun yang bicara, suasana menjadi hening dalam sekejap meskipun jalanan saat itu ramai dengan suara knalpot kendaraan bermotor yang ber-iringan silih berganti.
Malam itu terasa sangat panjang bagiku, baru pertama kalinya aku bekerja dan dibumbui hal-hal asing yang sebelumnya belum pernah aku temui. Semakin larut malam, semakin ramai pula pengunjung yang datang dan aku mencoba memahami dan membiasakan diri dengan pekerjaan saat ini. Malam ke malam kulalui dan aku pun mulai terbiasa oleh pekerjaan baru ini, dan aku yang saat ini mempunyai dua kehidupan yang sangat berbeda. Dunia yang tak sengaja kubuat sendiri, mulai dari penampilan saat bekerja, memaksa bibirku senyum ketika pelanggan datang dan saat bagaimana caraku menampakkan diriku yang baru pada malam hari. Ketika aku kembali kerumah, duniaku yang malam kutinggalkan dan kembali menjadi bagian keluargaku. Kurahasiakan semuanya tentang pekerjaan dari keluargaku dan jika merka tahu, mungkin aku tak diijinkan bekerja di warung itu. Jadi aku berpikiran jika aku yang sebenarnya adalah aku yang mereka ketahui, karena saat mereka melihat aku di warung kopi, itulah aku yang mereka lihat. Jika mereka melihat aku saat hidup dikeluargaku, itu pula yang mereka tahu tentang aku.
pyarrrr...klinting..klinting, terdengar suara gelas yang membentur aspal jalan. Nampaknya Erin menjatuhkan gelas dari tangannya. Aku bergegas menghampiri dan kubantu ia membereskan pecahan-pecahan beling yang terlihat berantakan. Wajahnya memucat, tangannya bergetar  dan kulihat dengan jelas seluruh tubuhnya diselimuti ketakutan. Ya, wajar saja Erin begitu, dan aku mengerti apa yang ia rasakan. Terlebih lagi Mbok Darmi sedang melihatnya.......

Comments