Yang Dianggap Benar Belum Tentu Salah

Salah satu alat mencapai kebenaran adalah pembuktian, bukan pembenaran
gambar: Pixabay.com

Sebelumnya, biar kuberitahu jika cerita ini diadopsi dari kisah nyata di warung kopi, bukan dari kisah kasih di sekolah. Jadi, sore itu di warung kopi depan kampus, kulihat tiga pemuda datang berjalan disebelahku, mereka menuju kasir, kemudian duduk di depan bangku tempatku berada. Lalu kuperhatikan wajah ketiganya, dan ternyata aku mengenalinya. 

Namanya Sunandar, Sukri, dan Sukirom. Sebut saja mereka “Triasu”. Nama belakangnya aku tak tahu-menahu. Tetapi jika kalian memaksaku menyebutkan, akan kucarikan dan kuperlihatkan. Nama belakang Sunandar adalah Management, nama belakang Sukri adalah Sosiologi, dan Sukirom adalah Supreme–gabungkan saja. Kudapatkan nama belakang itu dari jaket yang dikenakannya.

Setelah mereka menyapa dan menyalamiku, mereka kembali ke tempat duduknya semula. Sengaja aku tak gabung dengannya. Aku hanya ingin menikmati waktu sore itu dengan baca buku, ditemani kopi susu, juga “kamu” yang masih dalam khayalku. Sembari sesekali kudengarkan obrolan Triasu.

“Su?” suara Sunandar membuka obrolan.
“Apa Suu?” Jawab Sukri
“Kamu ngebayangin ga….” kata Sunandar
“Gak usah dibayangin, Su!” sahut Sukri menyela suara Sunandar.
“Ohhhasu, bentar dulu Su, serius ini! Kepikiran gak kalo kamu lulus kuliah mau kemana? Maksudnya kerja dimana gitu?” jelas Sunandar serius.
“Ya, kalo aku seh nggak terlalu berpikir kesana, yang penting setelah lulus nanti aku bahagia gitu aja udah cukup. Bukankah Aristoteles pernah ngomong jika tujuan hidup manusia itu untuk bahagia? Meskipun kita punya kerjaan yang layak, uang yang gabakal habis tuju turunan kalo gak bahagia buat apa?” jawab Sukri sekaligus melemparkan tanya.

“Kamu itu terlalu absurd jadi manusia, Su. Cita-cita yang kamu omongkan tadi hanya utopis, gak realis sama sekali. Bukankah Tan Malaka pernah ngomong jika perut lapar tidak akan kenyang diisi teori? Hayo lohh, ini Bapak Republik Indonesia sendiri loh yang ngomong.” bantah Sunandar.

“Artinya, kita sebagai angkatan muda juga harus punya semangat yang tinggi buat jadi pengusaha, dengan begitu kita merasakan bahagia. Apalagi sekarang, jumlah pengangguran di negara kita itu 5,01% atau 6.82 juta orang. Lihat realitasnya ajalah, lulus kuliah juga banyak yang nganggur” lanjut Sunandar menceramahi.

Sukri hanya diam sebentar mendengar ceramahnya, sambil tangan kirinya memainkan sebatang rokok yang baru saja dihisapnya. Berpikir sebentar kemudian menjawab,
“Justru orang pengangguran itu bagus, mungkin saja alasannya menganggur itu karena dia sudah merasa bahagia”
 
Sunandar nampaknya semakin menunjukan rasa kesal pada wajahnya, lalu mengalihkan pandangannya kearah Sukirom yang duduk bersebelahan dibangkunya.
 
“Su, diem-diem bae, ngobrol dong, sariawan?” tegurnya.
“Sory ya Su, milenialis gasuka ngomong langsung, milenialis ngomongnya pake media online” jawab Sukirom yang masih tetap memandangi gadgetnya sejak datang tadi.
“Eh, ini loh ciri milenialis, manusia serba online, ini tak tunjukin kalo Pak Presiden tercinta kita, Bapak Jokowi buka lapangan pekerjaan baru 300 juta di Ibu Kota Baru.” sahut Sukirom sembari menunjukan berita online dari gadget yang dipegangnya.

Sunandar dan Sukri dengan segera melihat gadget Sukirom. Namun belum sempat membaca, Sukirom menarik gadgetnya kembali sambil berkata, “Milenialis kok gapunya gadget” sambil tertawa keras

” Cuuookkkk!” Sukri dan Sunandar mengumpat bersama layaknya paduan suara.
Keduanya lalu mengambil gadgetnya masing-masing dan searching di google.

“300 juta matamu Su! wong cuman 3 juta gini kok, nolnya kamu tambahin sendiri?” kata Sukri

“Matamu yang salah, Su! Bener kata Sukirom gini kok, 300 juta” sela Sunandar.

Triasu kemudian berdebat sengit ditambah sindiran-sindiran nyelekit yang diluncurkan satu sama lain, sementara Sukirom masih tetap tenang melihati gadgetnya lagi. Tapi satu hal yang pasti, dan terlihat mereka tak sedikitpun memberikan tanda-tanda untuk segera bertengkar. Ya, barangkali sudah benar begitu cara mereka berteman. 

Kemudian, Sukri dan Sunandar memperlihatkan gadgetnya satu sama lain, dan ternyata memang benar, ada perbedaan judul berita antara media berita online yang dilihat oleh mereka. Sukri melihat beritanya dari Detik.com, sedangkan Sunandar melihat dari Liputan6.com. Dan barangkali kalian ingin melihatinya, kuperlihatkan kepada kalian. Ini kudapatkan setelah ku screenshoot dari gadget.


Mereka masih kebingungan sendiri–memilih mana berita yang benar ataupun salah. Aku pun juga demikian, sebab keduanya portal berita online itu sama-sama sudah punya nama besar dalam lingkup media berita di Indonesia.

 Terlebih dengan waktu unggahan, sumber, dan tanggal yang sama. Pikirku tidak mungkin juga salah satu diantaranya memberikan informasi yang bohong (hoax). Atau mungkin hanya kesalahan penulis yang ceroboh dalam menuliskannya, atau juga biar menarik perhatian pembaca, tetapi mengapa juga tidak segera disunting jika itu kesalahan semata? Bagaimana jika berita itu dilihat oleh masyarakat awam dan percaya begitu saja? Lalu dengan optimis melihat sebagai angin segar bagi pengangguran?

Lalu kembali kulihat Sukri melanjutkan percakapannya.
“Barangkali seperti itu kondisi masyarakat kita sekarang, masalah benar atau salah menjadi bias. Yang ada hanya kebenaran sementara, ada juga kebenaran subjektif, dan yang paling sering dilakukan adalah pembenaran. Kalo ingat kata Socrates, Tidak ada kebenaran yang mutlak dalam dunia ini. Aku sepakat dengannya, memang sangat susah menentukan kebenaran dalam masyarakat milenial ini, bukan begitu Sukirom?” kata Sukri menjelaskan.

“Kali ini aku sepakat denganmu, Su, mereka yang belum mengerti betul tentang suatu fenomena akan lebih sering melakukan pembenaran, apalagi bagi yang malas membaca, karena dia hanya satu sumber yang didapat, akan lebih sering untuk membenarkan sesuatu. Apapun itu!” kata Sunandar menambahi.

“Sudahlah, kita tunggu aja pembuktiannya mana yang benar, dan mana yang salah. Soalnya kita gabisa wawancara langsung sama Presiden ataupun aparat pemerintah yang bersangkutan, karena salah satu cara yang tepat buat mencari kebenaran adalah pembuktian, bukan pembenaran. Bukankah begitu, Su?” lanjut Sukri. 
“Nah, ini baru pemikiran milenialis” Sukirom memecah suasana.
“Makan itu milenialis kronis” sanggah Sukri.
Suasana warkop saat itu semakin dingin, karena kebetulan matahari telah tenggelam. Kulihat arloji yang tetap diam dilenganku menunjukan angka 7. Sampai akhirnya kulihati kanan-kiri dan ternyata memang benar, sekelilingku sudah gelap. Dan satu hal penting yang kudapati dari Triasu, dalam diskusi, setidaknya berikan sedikit ruang ketidaktahuan dalam pikiranmu untuk berjaga agar tidak kecewa karena merasa tahu terlalu banyak.

Comments